Thursday, August 11, 2005

Kelirumologi : Apakah Bisa Diterapkan Untuk Penanganan Korupsi?

Pusat Studi Kelirumologi yang dikomandani oleh sang master Jaya Suprana, baru-baru ini menganugerahkan ”Kelirumologi Award” kepada 10 orang, seperti Kwik Kian Gie, Wardah Hafidz dan Satjipto Rahardjo. Bagi yang ingin mengetahui mengenai beritanya bisa dilihat di sini.

Menurut Mas Jaya, Kelirumologi adalah suatu paham kesadaran untuk senantiasa berusaha menelaah kekeliruan demi mencari kebenaran. Jika memang demikian, boleh jadi diperlukan banyak sekali Kelirumolog di Indonesia, karena konon, ’perkeliruan’ di Indonesia amat teramat banyak. Penobatan negara kita sebagai salah satu negara terkorup oleh Transparency International dan menjadi salah satu negara yang paling ’bontot’ dalam pemulihan ekonomi pasca krisis, adalah salah dua contohnya.

Di tengah tersendat-sendatnya lapangan pekerjaan, mungkin belajar Kelirumologi dan menjadi Kelirumolog, bisa menjadi salah satu jalan keluar. :)

Ngomong-ngomong tentang Kelirumologi, saya tertarik untuk sedikit menelaah beberapa isu yang sekarang ini lagi hangat. Saya tidak tahu persis apakah ini termasuk objek kajian Kelirumologi atau tidak, tapi walaupun begitu karena ada pro dan kontra mungkin ada potensi kekeliruan terjadi di sana. Inilah empat isu yang berhasil diidentifikasi.

1. Mengenai korupsi:
a. Yang efektif adalah dengan menangkap dan menghukum para koruptor.
b. Yang efektif adalah memberi insentif/penghargaan pada orang yang tidak melakukan korupsi.
2. Mengenai prostitusi dan perjudian:
a. Yang efektif adalah melokalisasinya karena ’penyakit’ ini susah diberantas.
b. Yang efektif adalah memberantasnya sampai keakar-akarnya, karena jika tidak akan makin meluas.
3. Mengenai ’kebenaran agama’:
a. Semua agama benar karena tujuan akhirnya semua baik.
b. Agama yang benar hanya satu dan intepretasi yang benar juga cuma satu, yang lainnya salah atau setidak-tidaknya mengandung kesalahan.
4. Mengenai kesejahteraan dan peningkatan daya beli:
a. Indikator yang paling nyata dari peningkatan daya beli adalah harga yang murah. Oleh karena itu, pendidikan harus murah, pelayanan kesehatan harus murah dan yang mahal disubsidi.
b. Indikator yang paling nyata dari peningkatan daya beli adalah pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan harus mahal, biaya kesehatan harus mahal dan semua yang harganya memang mahal tidak perlu disubsidi.

Nah, apakah kekeliruan dari setiap dasar penanganan isu diatas? Kita serahkan saja pada para pakar untuk membahas lengkap dengan masing-masing argumentasinya. Saya pribadi menilai ada potensi mengarah ke perkeliruan dari penanganan isu-isu tersebut. Potensi ini jika tidak dipikirkan dan diantisipasi dampaknya akan menimbulkan perkeliruan baru yang lebih kompleks.


Namun bisa saja saya keliru, sebagaimana halnya setiap Kelirumolog juga manusia. Jadi ... kelirukah kekhawatiran saya? Ya tidak tahu, masa jeruk makan jeruk!

1 Comments:

At July 22, 2006 4:35 PM, Anonymous Anonymous said...

Great site loved it alot, will come back and visit again.
»

 

Post a Comment

<< Home