Wednesday, August 17, 2005

Bagi Saya Rahardi Ramelan Adalah Pahlawan

Hari ini genap 60 tahun negara kita merdeka. Dalam bayangan saya, semakin jauh jarak kita dari tanggal 17 Agustus 1945, akan semakin sulit kita menghayati situasi idealisme dan emosionalisme perjuangan kemerdekaan. Jika ada salah satu dari kita yang lahir pada saat itu, umurnya sudah mencapai 60 tahun. Bila diperkenankan berumur panjang berarti sudah termasuk ketegori sepuh. Bangsa Indonesia yang produktif dan pemain utama era sekarang ada diantara umur 20-50 tahun, berarti paling tidak lahir 10 tahun setelah merdeka hingga 40 tahun. Bagi kebanyakan usia ini, ikatan emosional terhadap para pahlawan kemerdekaan tidak sekuat masyarakat jaman awal-awal kemerdekaan. Keterikatan emosional mereka lebih banyak pada tokoh, pemimpin dan pahlawan (jika ada) masa kini.

Bila dihubungkan dengan ketaatan terhadap hukum, dari sekian banyak tokoh/pemimpin yang saya kagumi, Rahardi Ramelan adalah salah satunya. Dan dari sekian banyak tokoh/pemimpin yang sebaiknya tidak dipanuti, Akbar Tandjung dan Edwin Soedarmo adalah dua diantaranya.

Jika negara kita adalah negara hukum, ketaatan para pemimpin pada ketetapan hukum bisa dijadikan salah satu indikator utama. Mencermati sikap mereka adalah lebih penting dibanding ketaatan yang sama di kalangan masyarakat biasa. Selaku pemimpin/tokoh, resiko dan tanggung jawab lebih besar dari rakyat biasa adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan atau ketokohannya. Jika menjadi pemimpin/tokoh hanya bersedia menerima segala kemasyhuran, keuntungan finansial serta segala privilege yang didapat tanpa bersedia menerima resiko dan tanggung jawab melekat di dalamnya tentu sangat disayangkan.

Saya teringat dengan salah satu teman baik saya, yang berkali-kali ditawari menjadi pemimpin di BUMN, menolak halus dengan mengatakan, ”Saya bukan tidak mau, tetapi tidak berani (terhadap resiko yang melekat pada pemimpin itu).”. Menurut saya itu jawaban yang jujur, sederhana dan sangat bagus; tapi herannya malah dianggap aneh. Ditengah-tengah perlombaan yang ketat untuk mendapat jabatan itu, yang dianggap memiliki kompetensi malah menolaknya. Dugaan saya, dia tahu persis beratnya amanah yang harus ditanggung oleh seorang pemimpin. Perasaan kekhawatiran tidak dapat memegang amanah telah mengalahkan segala kemilau kemewahan yang akan didapat jika jabatan itu diterima.

Rahardi Ramelan adalah contoh pemimpin yang patut diacungi jempol. Bukan karena berani jadi menteri, tetapi karena berani dimasukkan penjara sebagai bagian resiko dan tanggung jawabnya terhadap jabatan tersebut. Berbeda dengan koleganya waktu itu, Akbar Tandjung. Berbagai usaha dan alasan dikemukakan agar resiko itu bisa lepas dari pundaknya. Beruntung putusan akhir (terlepas dari pro dan kontra) berpihak padanya. Jika tidak, bagaimana? Kemampuan Akbar Tandjung memimpin Golkar di masa sulit patut dipuji, tetapi ketidakberaniannya memikul resiko hukum sewaktu dia menjadi menteri, bagi saya bukan sikap yang bisa dijadikan teladan.

Contoh lain ketidaksiapan menerima resiko sebagai pemimpin dialami oleh Edwin Soedarmo, sang Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia. Setelah keluar ketentuan hukum yang bersifat tetap dan mengikat, malah menghilang sehingga masuk daftar pencarian orang (DPO) polisi. Dalam hal ini Rahardi Ramelan kembali memberikan contoh pemimpin yang baik, tanpa babibu langsung menyerahkan diri untuk dimasukkan penjara [lagi], kerena kasasinya ditolak.

Saya sama sekali tidak membenci Akbar Tandjung. Bagi saya, meski Bang Akbar Tandjung pada waktu itu bersedia masuk penjara, bukan berarti beliau salah. Sama artinya dengan kondisi sekarang beliau dinyatakan bebas, bukan berarti tidak salah. Manusia, termasuk penegak hukum bisa saja salah. Selaku orang yang tidak mengenal Akbar secara dekat dan tidak paham betul permasalahan yang diperkarakan, saya tidak bisa menilai Bang Akbar benar atau salah, walaupun diputuskan bersalah atau bebas oleh pengadilan. Yang menjadi isu adalah sikap dalam menghadapi keputusan pengadilan.

Hal sama berlaku untuk Edwin Soedarmo. Walaupun yang bersangkutan merasa benar dan pengadilan telah memutuskan dengan pertimbangan salah dan tidak adil, saya tetap berharap Bung Edwin bersedia menyerahkan diri dan berani menanggung resiko yang melekat dijabatannya. Masuk penjara karena keyakinan akan kebenaran tindakan yang telah diambil tetap lebih terhormat dibanding dengan status saat ini. Jangan melihat Akbar Tandjung, jangan tiru sikap orang-orang yang tidak berani menanggung resiko dan berpaling, lihatlah Rahardi Ramelan!

Jika nanti akan ada penghargaan diberikan kepada warga negara dalam bidang hukum, berikanlah juga penghargaan itu pada Rahardi Ramelan, serta orang-orang yang seperti beliau. Sejarah jaman akan terus berubah, tetapi pahlawan dan pemimpin sejati tetaplah sama. Mereka adalah orang-orang yang berhasil mengalahkan egonya, bukan orang lain.


Di usia kemerdekaan ke-60 ini saya merasa beruntung karena masih ada pemimpin yang bisa diteladani. Jika tidak, perayaan kemerdekaan ini menjadi kehilangan makna. Dirgahayu Indonesia!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home