Thursday, August 03, 2006

Palestina, Israel dan Lebanon dalam Konstelasi Politik Global

Memanasnya situasi di Timur Tengah akhir-akhir ini telah menyita perhatian dunia. Eskalasi peperangan yang dipicu penyanderaan 2 tentara Israel oleh Hizbullah (Hezbollah) dan dipertegas dengan sikap arogan Israel melakukan serangan militer ke Libanon, benar-benar membuat saya sedih. Banyak korban rakyat sipil termasuk anak-anak berjatuhan di Libanon (Lebanon).

Reaksi dunia, termasuk Indonesia, mayoritas menyalahkan Israel. Hanya Amerika Serikat yang sangat telanjang membela Israel. Seruan genjatan senjata yang disampaikan PBB dan mayoritas Negara tidak digubris Israel dan AS. Mereka punya agenda sendiri bagaimana konflik ini harus diselesaikan.

Perselisihan antara Israel dan Palestina yang seringkali menyeret negara-negara tetangganya dalam ‘medan pertempuran’ adalah masalah yang punya sejarah panjang dan sangat sulit dilacak kembali siapa yang salah dan benar. Apalagi masing-masing pihak didasari oleh sebuah keyakinan yang kuat bahwa pihak lain yang bersalah.

Kepentingan golongan dan negara lain yang saling bertentangan juga telah membuat makin kisruhnya masalah ini. Saya merasa solusi yang bersifat adil sudah makin jauh dari kenyataan. Walaupun di permukaan nampak seolah-oleh ada itikad baik untuk membantu mereka menyelesaikan masalah secara damai, saya melihat sangat jelas bahwa secara umum konstelasi politik di dunia lebih menguntungkan Israel.

Sejak keruntuhan Uni Soviet, peran AS sebagai negara super power makin kuat sulit dikendalikan dan diimbangi oleh negara lain. Sadar akan situasi ini, beberapa negara maju di Eropa sepakat membentuk Uni Eropa yang entri-nya (agar lebih mudah dilakukan dan tidak bisa diprotes AS) adalah dimulai dari kerjasama ekonomi. Saya punya keyakinan dalam jangka panjang kerjasama lain di bidang politik dan keamanan akan makin nampak terlihat.

Tetapi di mata sebagian negara berkembang, termasuk Indonesia, pembentukan Uni Eropa hanyalah bentuk kamuflase kerjasama langsung dan tidak langsung dengan AS. Sejarah telah membuktikan bahwa hubungan Eropa Barat dan AS termasuk ‘mesra’. Mereka hanya akan ‘berantem’ kalau masalah yang timbul mengganggu eksistensi masing-masing. Jika terjadi di luar kancah mereka, biasanya mereka sangat bisa bekerja sama. Kalaupun yang satu ‘agak nakal’ yang satu lagi bisa memberi toleransi yang lumayan besar. Contoh paling konkrit adalah serangan militer AS ke Irak atau masalah boikot pengembangan nuklir Iran.

Disamping mereka sebenarnya ada beberapa Negara yang punya posisi penting di konstelasi politik dunia. Di antaranya, Cina, Rusia, Jepang, India dan Iran. Sebenarnya jika rakyat Indonesia bersatu, kita bisa menjadi salah satu pemeran kunci di kancah ini, sayang sekali nampaknya masih utopia karena kita masih harus berkutat dengan masalah internal yang seringkali ditangani dengan cara yang aneh.

Kekuatan lain yang bisa berperan adalah jika Afrika bisa bersatu dipimpin oleh beberapa negara yang cukup kuat seperti Afrika Selatan dan Mesir. Kemudian Amerika Latin, jika mereka bersatu dan tidak diganggu masalah internal juga bisa menjadi penyeimbang AS dan Uni Eropa.

Kembali ke masalah serangan Israel ke Libanon. Sebenarnya saya sangat enggan mengungkapkan pendapat ini karena harus melanggar kecintaan saya terhadap solusi damai. Tetapi melihat perkembangan yang terjadi serta konstelasi politik global, satu-satunya cara agar Israel dan AS bersedia ‘dipaksa’ ke meja perundingan dimana perundingan ini bisa berjalan dengan bargaining power yang seimbang adalah: Perkuat mesin perang Hizbullah, bukan sebaliknya seperti yang diusulkan oleh AS, melucuti mereka terlebih dahulu.

Uni Eropa, OKI, Rusia, Cina, Jepang dan India harus bersatu mengancam AS agar segera menekan Israel untuk menghentikan serangannya. Jika tidak grup ini akan membantu persenjataan Hizbullah agar kekuatannya seimbang dengan Israel. Saya yakin kalau kekuatan militer Hizbullah dan Israel seimbang, Isreal akan berpikir 9 kali lipat melakukan serangan militer ke Libanon.

Kecaman keras dan lobi-lobi G to G terhadap AS tidak akan berdampak positif jika tidak disokong oleh tekanan ‘kami akan memperkuat persenjataan Hizbullah jika suara kami tidak didengar’.

Cara ini tentu saja akan memancing kemarahan AS dan Israel. Tetapi jika itu terjadi saya malah senang, kemarahan mereka merupakan cerminan rasa takut. Dengan demikian konstelasi politik dunia mulai berubah kearah keseimbangan. AS tidak akan bisa semena-mena lagi. Memang ada beberapa masalah yang potensial menghambat skenario penekanan kepada AS ini bisa dilakukan.

Hubungan Uni Eropa dan OKI tidak seerat UNI Eropa dan AS. Secara sendiri-sendiri ketergantungan negara-negara OKI terhadap AS dan Uni Eropa cukup kuat, ini sangat mungkin melemahkan posisi OKI. Hubungan OKI dengan Rusia, Cina, Jepang dan India belum teruji untuk masalah-masalah politik dan keamanan. Dan yang paling penting adalah siapkan negara-negara dalam grup ini menghadapi resiko kemarahan AS dan Israel jika tekanan itu diwujudkan?

Bagi Indonesia sendiri menurut saya punya dua alternatif. Pertama, dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap rencana mengirim misi perdamaian PBB, saya berpendapat sebaiknya Indonesia memulai terlebih dahulu dengan mendukung langkah Iran dan Suriah untuk memperkuat ‘mesin perang’ Hizbullah. Dukungan ini tentu saja bukan dalam bentuk pengiriman peralatan perang atau personil secara langsung, karena tentu saja itu bisa dianggap konyol.

Banyak cara halus dan tersembunyi (Pemerintah lebih tahu masalah ini, :-) !) yang bisa dilakukan. Yang pasti kita pun harus waspada, karena ada dugaan bahwa hal ini 'dibiarkan' terjadi oleh AS agar Iran dan Suriah (dua negara yang sangat dibenci AS), terseret dan terlibat langsung (transparan) dalam konflik ini sehingga bisa 'di-Irak-kan' oleh mereka.

Kedua, diam. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Tidak ada gunanya membantu pihak-pihak yang merasa bahwa solusi militer dan kekerasan adalah satu-satunya cara yang bisa ditempuh. Tidak ada gunanya jadi juru damai dari pihak-pihak yang berkeyakinan eksistensi masing-masing hanya bisa diwujudkan dengan meremehkan dan mencoba menghancurkan eksistensi pihak lain.

Kedua sikap tersebut tentunya tidak umum. Tetapi saya lebih setuju mengambil sikap tersebut dari pada hanya melakukan kegiatan lip service lobi-lobi dan siap-siap mengirim pasukan perdamaian. Pilihan pertama, pasti akan menghasilkan kecaman dari banyak negara, terutama AS karena dianggap mendukung terorisme atau tidak mendukung perdamaian serta melanggar etika pergaulan Internasional. Tetapi menurut saya tidak ada gunanya perdamaian dan etika pergaulan Internasional diterapkan pada negara yang jelas-jelas menggunakan standar ganda dan sering melanggar etikel pergaulan antar negara. Hanya saja, saya pesimis Pemerintah Indonesia berani mengambil sikap seperti ini, melihat sejarah hanya Presiden Soekarno yang ‘berani’ melawan AS.

Pilihan kedua juga pasti menimbulkan reaksi keras baik dari dalam maupun luar negera, karena Indonesia akan dianggap sebagai negara yang tidak peka dan bersedia berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Tapi menurut saya ini lebih baik, daripada kita melakukan pekerjaan lip service tersebut. Alangkah lebih baiknya tenaga, pikiran dan dananya kita gunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Sangat banyak rakyat Indonesia yang perlu dibantu agar mereka bisa bangkit dan pada gilirannya Indonesia pun bisa bangkit.

Apapun pilihan tergantung pada Pemerintah yang memiliki kewenangan. Apa yang bisa saya lakukan adalah sebatas menyumbang pikiran seperti ini. Mudah-mudahan kedamaian dan kesediaan hidup berdampingan saling menghargai bisa segera terwujud di Timur Tengah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home