Friday, August 10, 2007

Ujian Nasional : Niat Baik Yang Menuai Banyak Kerepotan

Setelah perjuangan berdarah-darah sekitar empat bulan, saya, istri saya dan anak saya, berhasil lolos dari ‘jebakan’ Ujian Nasional (Unas). Terlalu banyak kisah sedih dan kejengkelan yang menyertainya. Saya melihat sendiri dan sangat prihatin dengan kondisi istri dan anak saya menghadapi momen-momen ini.


Selama empat bulan tidak pernah terlihat kegembiraan pada mereka. Anak saya sebenarnya tipe yang agak cuek, tapi Unas sudah mengubahnya menjadi anak yang penuh kekhawatiran. Istri saya memang orang yang mudah gugup menghadapi situasi sulit apalagi yang stressful kayak Unas ini. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin menenangkan mereka, tapi nampaknya kurang memberikan manfaat, momok Unas lebih mendominasi dan berhasil mempermainkan perasaan mereka.


Sedihnya pada saat penting semacam ini saya harus bekerja di luar kota, hampir tidak memiliki waktu untuk membantu anak saya menghadapi situasi genting semacam ini. Paling-paling hanya bisa komunikasi lewat telepon.


Nampaknya situasi panik juga melanda semua pihak yang ada disekitar anak saya seperti teman-temannya dan guru-guru di SMPN 9 Bandung. Hampir setiap hari anak saya harus berada di sekolah hingga sore hari, katanya untuk memantapkan kesiapan menghadapi Unas. Mungkin ada benarnya, tetapi yang terjadi adalah justru anak saya menjadi semakin tertekan dan kelelahan sehingga hampir semua materi tidak bisa dicerna dengan baik.


Pihak guru dan sekolah memiliki alasan yang cukup kuat untuk menyelenggarakan pelajaran tambahan, karena tahun lalu SMPN 9 Bandung termasuk SMP yang paling banyak memiliki siswa yang tidak lulus. Tahun ini harus meningkatkan prestasi, kalau bisa lulus semua!


Tapi proses ini berjalan penuh rintangan. Banyak orang tua yang protes karena anak mereka menjadi kelelahan dan semua orang tua menjadi ikut stress, beberapa orang seperti yang dilaporakan Istri saya, sampai menangis karena tidak tahan melihat kondisi anaknya. Belum lagi problem antar mata pelajaran. Guru-guru dari mata pelajaran non Unas tetap memberikan beban tugas yang cukup banyak sehingga anak-anak nyaris tidak memiliki waktu untuk istirahat.


Sebenarnya saya dan istri saya hanya mengkhawatirkan satu mata pelajaran saja, yaitu Matematika, yang sejak dulu memang anak saya kurang menyukainya. Tetapi karena ini menjadi mata pelajaran primadona Unas, tergopoh-gopohkan anak, istri saya dan para guru mengasahnya. Dan saya agak khawatir mata pelajaran lain jadi terbengkalai.


Kekhawatiran kami ternyata terbukti. Setelah diumumkan hasilnya, akhirnya memang anak saya lolos dari ’perangkap’ Unas berhasil lulus; walaupun hasilnya jauh di bawah kemampuan yang seharusnya bisa dia capai. Matematika berhasil lulus di batas bawah, tetapi mata pelajaran lain yang biasanya dia bagus malah drop. Selain kecapaian dan stress, memang belum lama sebelum Unas diselenggarakan, anak saya kena demam berdarah. Tentu saya kami semua bersyukur pada Allah SWT karena hanya karena pertolongan-Nya lah anak saya berhasil lulus. Walaupun demikian saya tetap menyesalkan kenapa Unas yang dirancang oleh para pakar pendidikan di birokrasi meninggalkan kesan yang sangat buruk pada kami sekeluarga.


Melihat lingkungan sekitar serta dengan menyimak berbagai pemberitaan di media massa, apa yang kami alami mungkin hanya segelintir saja dari kisah-kisah kelam Unas. Tidak menutup kemungkinan lebih banyak anak dan orang tua lain yang mengalami kondisi yang lebih berat dari kami.


Bagi saya pribadi, berapapun nilai Unas anak saya tidak terlalu menjadi masalah, yang penting anak saya bisa lulus. Karena jika tidak lulus saya tidak tahu bagaimana anak dan istri saya harus menerimanya. Nilai Unas tidak mencerminkan 10% pun kemampuan anak saya, banyak hal lain yang menonjol dimiliki oleh anak saya, sayangnya tidak masuk dalam kerangka Unas.


Perjuangan ternyata belum selesai. Untuk masuk SMK Negeri (anak saya memang jauh-jauh hari sudah mengatakan tidak berminat masuk SMU), ternyata Matematika dan 2 mata pelajaran Unas lain mendapat bobot yang sangat tinggi, tanpa melihat jenis SMK yang dipilih. Mata pelajaran lain hanya diberi bobot kecil saja, hampir tidak ada artinya.


Melihat peluang untuk diterima di SMK Negeri sangat tipis, akhirnya saya memutuskan untuk langsung memasukkan anak saya ke SMK Swasta. Alhamdulliah akhirnya anak saya bisa melanjutkan sekolah dalam bidang keahlian yang diminatinya sejak lama, rekasaya perangkat lunak. Dan nampaknya sangat menikmati suasana belajar di sekolah barunya.


Mungkin ini adalah jalan yang telah Allah SWT tunjukkan pada kami dan kami sangat bersyukur atas karunia ini. Mudah-mudahan Pemerintah bisa mendapatkan manfaat dari sistem Unas ini, karena bagi kami, manfaatnya boleh dibilang tidak ada.

Ini memang sebuah kenyataan pahit yang harus kami terima. Nampaknya Pemerintah mengganggap Unas sebuah keberhasilan, karena kualitas menjadi terukur dan terstandarisasi. Yang nantinya akan terus dinaikkan batas bawahnya hingga mencapai angka kompetensi minimum. Tentu saja saya setuju dengan harapan itu tapi apakah dengan cara sesempit Unas? Alangkah naifnya Pemerintah kita!

SMPN 9 Bandung pun menyatakan sebuah keberhasilan karena jumlah siswa yang tidak lulus berkurang banyak. Tetapi tidak bagi anak saya, walaupun lulus, nilainya secara keseluruhan justru drop. Inilah memang harga sebuah keberhasilan. Pemerintah berhasil, SMPN 9 Bandung juga berhasil. Dan anak saya adalah salah satu dari 'korban' keberhasilan tersebut!

Kalaupun bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang terhormat mengatakan ini adalah bagian dari proses pendidikan untuk mencetak anak bangsa yang tidak cengeng dan mampu bersaing di pentas dunia, mudah-mudahan demikian. Karena bagi kami, masih banyak cara lain yang lebih elegan untuk mencapai tujuan tersebut, dari hanya selembar kertas hasil Ujian Negara yang akan terus melekat pada individu-individu bangsa ini hingga akhir hayatnya.

Dirgahayu Bangsa Indonesia ...

1 Comments:

At July 04, 2008 1:36 AM, Anonymous Anonymous said...

Semoga ada perbaikan bagi dunia pendidikan di negri ini...salam kenal

 

Post a Comment

<< Home