Sunday, April 13, 2008

Republik Mimpi Penangkalan Dampak Negatif Internet (Bagian Akhir dari 3 Tulisan)

Bagian 1 Bagian 2

Sudah beberapa kali acara parodi Republik Mimpi Bang Effendi Ghazali bersalin rupa dan berpindah alamat tayang. Mulanya di Indosiar dengan nama Republik BBM, kemudian ke MetroTV menjelma menjadi newsdotcom. Terakhir di TVOne dalam wujud Sikab (Sidang Kabinet). Ada banyak penyebab, diantaranya: perubahan formasi pendukung, hubungan bisnis, somasi Pemerintah, masalah yang membelit sang Wakil Presiden, Jarwo Kwat.

Sebagaimana semboyan mereka “Jangan hanya cuman BBM, mari wujudkan mimpi menjadi kenyataan!”. Menangkal sepenuhnya dampak negatif internet bisa jadi cuman ada di dunia impian. Mengurangi dan melokalisirnya, [mungkin] bisa menjadi kenyataan.

Dalam logika saya, mengendalikan dampak negatif Internet adalah masalah yang kompleks sehingga cara menanganinya juga perlu keterbukaan pemikiran, kerja keras serta melibatkan banyak pemangku kepentingan (stake holders).

There is no easy solution for tricky problem …

Sebagaimana yang pernah saya curhatkan dalam 2 cuap-cuap sebelumnya, pemblokiran situs terlarang adalah usaha menyederhanakan pendekatan pemecahan masalah. Mungkin bisa mencapai hasil dengan cepat, tetapi akan ikut ‘membunuh’ korban yang sebetulnya bukan sasaran dan menciptakan masalah baru yang tidak kalah rumit.

Bapak Mohammad Nuh adalah seorang pakar ICT dan dia diminta menjadi Menteri karena kompetensinya, siapa yang meragukan hal ini? Keputusannya ‘memaksa’ anggota APJII memblokir Youtube membuat saya bertanya-tanya apakah karena ‘terpaksa’ menjalankan perintah atau karena ‘hal’ lain?

Dari sekian banyak faktor kunci, ada dua yang saya anggap sangat penting tetapi kurang mendapat tempat dalam kebijakan Bapak Menteri.
1. Keterlibatan para pemangku kepentingan; dan
2. Penempatan pengguna Internet sebagai subjek seutuhnya.


1. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

Jika sering terlihat Roy Suryo ada dibelakang beliau, apakah karena masukan pakar ICT ini? Dimata umum, Roy Suryo memang seorang pakar ICT; tetapi setahu saya dia bukan satu-satunya. Bukankan masih ada Onno W. Purbo, Budi Rahardjo atau Ikhlasul Amal? Yang merupakan sebagian pakar ICT yang juga dihormati komunitas ICT. Apakah mereka pernah dimintai pendapat?

Itu baru bicara satu aspek saja, ICT.


Padahal Internet adalah sebuah wahana yang memiliki banyak sekali pemangku kepentingan dengan sudut pandang dan pemanfaatan yang sangat beragam. Apakah perwakilan para pemangku kepentingan sudah diajak dialog?

Jika melihat komentar sebagian dari mereka seperti anggota APJII dan media massa. Kayaknya mereka ga diajak urun rembug deh!

Lalu bagaimana dengan para end user Internet seperti komunitas blogger (Enda Nasution dkk.), perusahaan berbasis online (detikcom, kapanlagi, dsb.), para praktisi Internet Marketing (Anne Ahira, Nukman Luftie, Bob Julius Onggo, dll.), para webmaster-webdesigner-webprogrammer. Dan masih banyak lagi!

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, para aparatur Negara seringkali tidak mau repot dan susah dalam menjalankan amanah yang diembannya. Dalam proses pengambilan keputusan pada ranah publik, melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dan menerapkan pengambilan keputusan berbasis partisipatif (participative decision-making) adalah sangat diajurkan.

Pendekatan semacam ini akan memakan waktu lama, menguras tenaga dan pikiran. Tidak kalah penting… membutuhkan kesabaran! Tetapi hasilnya akan lebih baik, karena keragaman sudut pandang dan kepentingan, teridentifikasi dengan cermat memadu menjadi kemufakatan. Ada seabreg metode yang bisa digunakan dan sudah teruji keandalannya. Cukup banyak pakar di bidang ini, salah satunya adalah Kawi Boedisetio.


2. Penempatan Pengguna Internet Sebagai Subjek Seutuhnya

Dilihat dari perpektif end user, keputusan pengontrolan akses Internet (salah satunya dengan cara pemblokiran) adalah menempatkan end user hanya sebagai objek yang harus dilindungi seperti ’anak kecil’ tanpa berusaha memahami kebutuhannya dan ’mendewasakannya’ melalui pendekatan self-empowering.

Pendekatan end user sebagai objek menganggap pengguna Internet itu bodoh, tidak memiliki alat seleksi diri yang memadai, selalu memiliki kecenderungan untuk berbuat negatif dan lemah. Di sisi lain, Pemerintah (alias elite masyarakat) adalah kelompok yang pintar, sangat kompeten dan harus melindungi ’kelompok bodoh ini’ dengan segala cara. Dengan demikian lingkungan sekitar mereka harus ’disterilkan’ dari sebanyak mungkin virus-virus kejahatan.

Pada ekstrim lain, pendekatan end user sebagai subjek seutuhnya akan selalu berpedoman bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling sempurna dan sudah memiliki modal dasar, yaitu akal sehat dan nurani. Yang diperlukan adalah petunjuk dan ’pelatihan’ yang sesuai, sehingga memiliki self-empowering untuk terus mengasah daya tangkal terhadap lingkungan jahat yang akan merusak dirinya.

Saya berharap ke depan, Pemerintah memiliki kerelaan hati untuk memperlakukan para pengguna Internet sebagai subjek seutuhnya. Sebagaimana diharapkan dari orang tua yang baik; yaitu mendampingi anak-anak yang dicintainya menjadi dirinya sendiri sesuai harapan dan kebutuhan mereka. Bukannya orang tua yang over protective dan memaksakan kehendak.

Memperlakukan pengguna Internet sebagai subjek seutuhnya, bukan berarti lingkungan tidak perlu dikontrol dan dibiarkan sebebas-bebasnya. Dalam batas-batas tertentu penggunaan Internet tetap perlu dikendalikan. Ini bisa diilustrasikan dengan anak-anak yang memiliki bakat dan kecerdasan yang berbeda-beda. Tidak perlu semua harus lulus jadi Sarjana. Tetap diijinkan masuk SMK dan program Diploma. Bahkan pendidikan nonformal seperti kursus-kursus!

Kontrol ketat dilakukan pada simpul akses Internet yang bersifat publik seperti Warnet, Hotspot, Pendidikan, Kantor dan lain-lain. Pengawasan lebih longgar bisa diterapkan pada simpul akses Internet individu yang sudah dianggap ’dewasa’. Jika masih kurang, individu dibawah 25 tahun, belum bekerja atau menikah, hanya boleh berlangganan secara pribadi jika ada ijin dari orang tuanya. Ini hanya sekedar contoh.

Bila cara ini dianggap lebih jelimet, tentu saja. Kita harus kembali ke adagium ”tidak ada cara yang mudah untuk memecahkan masalah rumit.

Bagaimana cara tersebut ditemukan? Itulah perlunya pengambilan keputusan partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan sebagaimana yang sudah di-curhat-kan di atas!

Negara kita punya banyak orang pintar, mengapa tidak diminta untuk berpartisipasi?

Jika para pemegang amanah rakyat meminta dengan baik, mendengarkan dan menghargai mereka, hampir tidak ada alasan untuk ikut sumbang saran ...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home