Monday, November 13, 2006

NIK Nasional : Identitas sangat penting yang tidak pernah diperhatikan sebagaimana mestinya

Dalam pandangan saya, penerapan NIK Nasional secara pari purna haruslah menjadi top priority Pemerintah dan DPR di atas masalah ekonomi, korupsi, hukum ataupun masalah lain yang sudah sangat sering disorot oleh media massa dan para pakar. Penggunaan NIK Nasional akan sangat membantu berbagai kegiatan penting pemerintahan, bisnis maupun warga secara individual, diantaranya :

1. Banyak masalah yang bisa diselesaikan dengan lebih mudah jika kita memiliki NIK Nasional yang akurat dan selalu terbaharui;

2. Banyak rencana pembangunan yang bisa disusun serta dijalankan dengan lebih cepat dan tepat sasaran; dan

3. Banyak kegiatan pembenahan dan pembangunan (termasuk korupsi dan ekonomi) bisa diteropong lebih menyeluruh, mendalam, murah dan cepat.

Saya ambil contoh dari realitas sehari-hari, seperti penangkapan para teroris dan penangkalannya, penyaluran Subsidi Langsung Tunai (SLT) dan kegiatan Pilkada. Kemudian rencana kegiatan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilaksanakan oleh setiap Departemen dan Lembaga resmi Pemerintah. Hal yang sama berlaku untuk Pemerintah Provinsi, Kota, Kabupaten, bahkan hingga ketingkat kelurahan dan RT/RW. Ini belum termasuk berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta dan penduduk Indonesia secara individual.

Tentunya ini bukan isu baru, mungkin cenderung sudah ‘bulukan’ dan sudah terpikir di era Pemerintahan Soeharto masih berjaya. Sebagai bahan perbandingan (walaupun tidak sama persis), di Amerika Serikat masalah sejenis dalam bentuk social security number (SSN) sudah dimulai sejak tahun 1935 dan revisi terakhir adalah tahun 1972.

Pengenalan pada NIK Nasional dimulai sekitar tahun 1993 atau 1994 pada saat saya dan istri mendapat masing-masing sebuah kartu berwarna biru muda dari Pemerintah. Waktu itu saya merasa aneh, walaupun sudah punya KTP kenapa masih mendapat tambahan kartu ‘identitas’ lagi. Sayang kartu ini terselip entah kemana dan belum ditemukan lagi. Yang jelas informasi yang tercantum di sana hampir sama dengan KTP tetapi ada nomor identitas baru, yang disebut NIK.

Tahun berganti, beberapa kali telah memperpanjang KTP, alamat rumah sudah pindah dari Bandung ke Cimahi; manfaat kartu itu sampai saat ini (lima belas tahun kemudian) ngga jelas. Menurut isu, proyek ini terkait dengan bisnis keluarga Presiden saat itu, Soeharto. Saya pribadi tidak terlalu tertarik untuk membahas aspek bisnisnya, tetapi pada aspek manfaatnya.

Pengalaman beberapa kali memperpanjang KTP, hampir selalu saya diberi nomor identitas baru. Awal-awal pemerintah SBY-Kalla pernah membaca dari media massa rencana memberlakukan (kembali) penomoran penduduk secara nasional. Namun hingga saat ini rencana itu belum jelas realisasinya.

Seingat saya keinginan menerapkan NIK nasional sudah diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 kepada Presiden melalui statement“…segera menciptakan sistem pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia, dan dengan nomor yang sama digunakan pula pada pasport, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, dan kartu pengenal lainnya

Berdasarkan penelusuran, penerapannya menunggu pengesahan RUU Administrasi Kependudukan yang sekarang masih dibahas di Komisi II DPR. Ini berarti sudah empat tahun dan masih jalan di tempat! Sedih memang, untuk masalah yang relatif sederhana namun sangat penting ini perlu waktu sekian lama hanya untuk sampai keluar aturan-aturannya. Jika ditambah dengan kegiatan-kegiatan lainnya hingga bisa berjalan, masih perlu berapa lama lagi?

Kita lupakan sejenak perjalanan panjang birokrasinya. Mari kita telusuri sebagian manfaat melalui beberapa ilustrasi jika NIK Nasional yang akurat dan selalu terbaharui dipergunakan.

Fulan adalah putra pertama dari Bapak Amir dan Ibu Dewi. Pada saat lahir mereka mendaftarkan diri di catatan sipil dan langsung mendapat NIK Nasional yang bersifat unik dan berlaku seumur hidup. Nomor ini bisa saja di-non aktifkan jika yang bersangkutkan berpindah kewarganegaraan.

Pada saat masuk umur 5 tahun Fulan masuk TK dan nomor registrasi di TK tersebut menggunakan NIK Nasionalnya. Pada saat masuk SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi (PT) pun tetap menggunakan nomor registrasi yang sama, NIK Nasional. NIK Nasional ini juga yang digunakan pada Kartu Pelajar dan Kartu Mahasiswa Fulan.

Katakanlah pada saat berumur 17 tahun Fulan wajib memiliki KTP, maka KTP dibuat dengan menggunakan NIK Nasional-nya sebagai Nomor KTP. Kemudian setelah lulus SMU dia mendaftar di PT yang berada di kota lain. Fulan cukup mendaftar sebagai penduduk sementara, dimana SKPPS (Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Sementara) juga menggunakan NIK Nasional sebagai nomornya.

Jika kemudian Fulan bekerja di kota yang berbeda lagi dan perlu membuat KTP baru, maka yang berubah dari KTP baru tersebut adalah alamatnya saja, sedangkan nomor KTP-nya tetap sama, NIK Nasional. Demikian pula pada saat menikah, akte nikahnya menggunakan NIK Nasional, pembuatan Kartu Keluarga (KK), nomor induk kepegawaian di tempatnya bekerja, bahkan pada saat mendaftarkan kelahiran anak pertamanya di Catatan Sipil setempat NIK dia dan istrinya tercantum dalam akte kelahiran anaknya.

Penggunaan NIK Nasional ini tidak hanya sampai di situ saja. Digunakan pula pada saat membuat SIM, pasport, NPWP, Jamsostek, pembukaan rekening di Bank, membeli tanah dan rumah, pendirikan perusahaan, bahkan pendaftaran di dokter pada saat sakit atau perawatan di rumah sakit. Singkatnya, NIK Nasional itu menjadi ‘jangkar’ data semua aspek kegiatan pendudukan yang penting. Akan sangat banyak kegiatan individual warga, bisnis maupun Pemerintah yang terbantu dengan adanya data penduduk yang memiliki satu jangkar, yaitu NIK Nasional.

Dengan penerapan NIK Nasional ini setiap warga tidak bisa dan tidak perlu memiliki KTP ganda (yang bisa menjadi sumber masalah), sulit melakukan pemalsuan dan penyalahgunaan KTP (yang bisa menjadi sumber masalah yang lain). NIK Nasional adalah nomor identitas warga untuk semua keperluan, one for all. Jika bisa disederhanakan menggunakan satu nomor identitas, mengapa harus mempersulit diri sendiri dengan nomor identitas yang bermacam-macam?

Jika aktivitas penting warga negara sudah tercatat melalui penggunaan NIK Nasional, database yang tersedia bisa digunakan untuk bermacam-macam keperluan. Misalnya, bila si Fulan lahir tahun 2006, maka 7 tahun kemudian (2013) seharusnya sudah tercatat sebagai murid SD. Jika berdasarkan penelusuran NIK tidak ada di SD tempat dia tinggal, ini bisa diartikan sebagai peringatan dini (early warning) ada suatu masalah. Apakah sudah meninggal, atau orang tuanya belum memasukkan ke SD, sudah masuk tetapi ada kesalahan pencatatan data, masuk SD yang belum mengikuti standar pencatatan berdasarkan NIK dan lain-lain. Jika terkumpul data semacam ini secara nasional atau paling tidak se kabupaten tertentu, bisa menjadi starting point menentukan kebijakan wajib belajar sembilan tahun.

Ilustrasi lain misalnya, jika catatan terakhir Fulan selesai kuliah tahun 2028 (umur 22 tahun) tetapi sampai tahun 2030 belum tercatat sebagai pegawai di Pemerintah maupun swasta, memiliki ijin usaha, melanjutkan kuliah ataupun bepergian ke luar negeri, tentunya sudah bisa digunakan sebagai peringatan dini yang bersangkutkan masih menganggur. Bila data seperti ini diagregasi sampai tingkat nasional, bukankah akan menjadi informasi penting mengenai jumlah pengangguran, tanpa harus melakukan survei primer yang memakan biaya besar, waktu yang lama dan belum tentu akurat?

NIK yang ekuivalen dapat juga diberlakukan untuk warga negara asing yang berada di Indonesia. Warga asing yang kemudian menjadi warganegara Indonesia tentunya akan mendapat NIK Nasional sebagaimana yang lainnya.

Lalu bagaimana dengan metode pencatatannya? Pada dasarnya bisa dilaksanakan dengan fasilitas, sumberdaya manusia dan jaringan yang sudah ada, bahkan dengan metode pancatatan yang paling sederhana pun. Yang harus ditetapkan terlebih dahulu adalah bagaimana pembakuan NIK Nasional dan data apa yang perlu dicatat (yang sebenarnya hanya data umum dan sudah biasa dikumpulkan). Masalahnya adalah bagaimana data ini bersifat akurat dan secara konsisten diperbaharui.

Yang juga tidak kalah pentingnya adalah data ini dapat diakses oleh berbagai pihak sesuai kewenangan dan tugas-tugasnya dalam level agregasi tertentu, sehingga berbagai duplikasi dan pemborosan kegiatan dapat dihindari, setidak-tidaknya dikurangi.

Pemanfaatan teknologi dan teknologi informasi tentu saja bisa sangat membantu. Hanya saja jika rencana ini diperlakukan seperti ‘proyek’ dengan menonjolkan pengadaan fasilitas teknologi informasi yang super canggih, hakikat penyelesaian masalah bisa terabaikan. Akibatnya sudah bisa dibayangkan, menjadi pemborosan uang negara sebagaimana sering terjadi dalam proyek-proyek Pemerintah.

Mari kita berandai-andai lagi. Apabila penerapan NIK Nasional sudah berjalan efektif anggaplah tahun 1995, mungkin:

1. Noordin M. Top dan Dr. Azahari lebih cepat ditanggap polisi, atau bahkan mungkin Dr. Azahari tidak pernah bisa masuk ke Indonesia dan berbagai tragedi terorisme bisa dikurangi bahkan tidak terjadi!?

2. Para koruptor yang konon kabur ke luar negeri atau bersembunyi entah kemana, bisa efektif dicekal dan langsung diadili!?

3. Para Pejabat Pemerintah sulit menyembunyikan kekayaan sebenarnya dan ‘terpaksa’ melaporkan nilai sesungguhnya, karena bila berbohong akan sangat mudah terlacak oleh KPK!?

4. Kerja BPS akan lebih mudah mendata penerima SLT sehingga bantuan ini lebih tepat sasaran!?

5. Banyak penghematan biaya dan waktu bisa dilakukan karena duplikasi aktivitas dan ketidakakuratan data bisa dicegah!?

6. Dan masih banyak daftar kemungkinan manfaat yang lain.

Jika pencatatan ini bersifat menyeluruh dan konsisten untuk semua warga negara Indonesia walaupun hanya sesederhana data yang tercantum di KTP, kita bisa bayangkan berapa banyak profil kependudukan yang bisa dibuat untuk bermacam-macam kebutuhan. Informasi ini bisa diperoleh secara akurat, dengan biaya murah dan waktu yang lebih cepat. Akan banyak kegiatan ekonomi, keamanan, pendidikan dan lain-lain bisa memanfaatkan profil-profil kependudukan ini secara optimal. Saya punya dugaan spekulatif, penghematan biaya secara nasional di segala sektor dengan berbagai macam kegiatan bisa mencapai ratusan milyar, bahkan trilyun per tahunnya!

Dua tahun yang lalu, sesaat setelah pesta pemilihan Presiden saya pernah menulis berbagai harapan yang serba optimistik (Pikiran Rakyat, 6 Juli 2004). Sekarang nampaknya perlu lebih realistik dengan melakukan downsizing menjadi satu harapan saja.

Jika SBY-Kalla plus DPR, hingga akhir pemerintahannya, tidak dapat merealisasikan NIK Nasional yang akurat dan terus terbaharui, maka saya akan masuk ke dalam kelompok yang mengganggap mereka gagal. Penyelesaian masalah NIK Nasional tidak serumit problem ekonomi, korupsi, hukum dan masalah-masalah canggih lainya, sehingga seharusnya bisa diwujudkan dengan cepat dan berhasil dapat periode pemerintahan ini.

Bila target yang sangat achievable ini saja tidak bisa dituntaskan dengan baik. Saya pesimistis bangsa Indonesia bisa sedikit demi sedikit keluar dari masalah. Jargon pembangunan yang lain seperti peningkatkan ekspor, pengurangan tingkat kemiskinan, perbaikan iklim investasi, penegakan hukum, pembasmian korupsi, pencegahan penularan flu burung, terorisme, pentuntasan agenda reformasi dan lain-lain (sebagaimana yang sering dikritisi para pakar dan politisi) sebaiknya jangan terlalu diharapkan dapat diatasi secara menyeluruh.

Let's forget dicussing all those major issues for a while and look much deeper to a crucial, simple and very achievable issue which is neglected or even ignored (?).