Friday, September 30, 2005

Saya Setuju Kenaikan Harga BBM, Tapi Tidak Sependapat dengan Alasannya

Pemerintah berencana menaikkan harga BBM bulan Oktober ini. Walaupun banyak kalangan yang menyatakan ketidaksetujuan dengan berbagai alasan. Saya pribadi mendukung rencana tersebut. Persetujuan ini bukan berarti bahwa saya akan mendapat manfaat dari dampak kenaikan, sama sekali tidak. Secara ekonomi saya akan sangat dirugikan oleh kebijakan tersebut, sama dengan kebanyakan masyarakat. Pendapatan tidak naik (bahkan ada kemungkinan berkurang), pengeluaran akan membengkak, akibatnya daya beli akan merosot secara signifikan.

Dukungan saya didasarkan akan keyakinan bahwa ini adalah keputusan yang tepat dan baik bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam jangka panjang. Tentu saja dalam jangka pendek akan sangat terasa berat. Tetapi sebenarnya akan memberikan dampak positif, karena banyak distorsi ekonomi dan praktik buruk usaha akan secara efektif dihilangkan atau setidak-tidaknya dikurangi.

Bagi saya subsidi BBM adalah kebijakan yang tidak sehat, tidak adil dan tidak mendidik. Walaupun Pemerintah memiliki uang yang banyak dan mampu mendukung subsidi, saya tetap berpendapat subsidi BBM harus dicabut. Itulah sebabnya kenapa saya tidak setuju dengan alasan Pemerintah, yang intinya menyatakan bahwa subsidi adalah untuk mengurangi beban anggaran. Artinya, jika tidak memberatkan anggaran, subsidi BBM tetap akan dilanjutkan. Menurut saya ada alasan yang lebih hakiki mengapa subsidi BBM harus dicabut, yaitu dampak negatif disparitas harga.

Contoh paling gamlang adalah praktik bisnis tidak sehat akibat adanya disparitas harga BBM antara Indonesia dengan negara lain (terutama tetangga terdekat) serta disparitas harga masyarakat dan industri. Tanpa perlu diselidiki lebih jauh pun kita bisa melihat bahwa disparitas harga semacam ini menimbulkan peluang bisnis ilegal menggiurkan baik untuk kalangan orang biasa yang melakukan bisnis kecil-kecilan untuk sekedar menyambung hidup hingga kalangan yang memiliki kekuasaan, uang dan akses menjalankannya secara besar-besaran. Hasil temuan kepolisian baru-baru ini telah membuktikan kebenaran adanya bisnis tidak terpuji tersebut.

Kenaikan harga BBM (apalagi jika harganya sesuai harga pasar dunia) akan menghancurkan rantai bisnis ilegal dan tidak sehat. Para pelaku usaha di bidang ini pastinya akan sangat dirugikan. Dan jika pelakunya adalah orang-orang yang memiliki pengaruh yang sangat kuat di Indonesia, tentunya Pemerintah dan (masyarakat) perlu mengantisipasinya. Tidak menutup kemungkinan mereka akan mendompleng aksi-aksi proses kenaikan BBM.

Kalaupun harga produksi BBM Indonesia jauh lebih rendah dari harga pasar Internasional, karena mampu memproduksi dari hulu hingga hilir secara mandiri. Saya tetap mendukung penggunaan harga pasar Internasional sebagai dasar. Karena alasan yang sama, disparitas harga adalah insentif negatif bagi persaingan usaha yang sehat. Disamping itu jangan dilupakan, diperlukannya usaha pengawasan dan pengendalian yang ekstra sulit serta berbiaya tinggi.

Secara lebih luas kebijakan kenaikan harga BBM juga akan menghapuskan sedikit demi sedikit ketidak-efisienan bisnis dan ekonomi yang ternina-bobokan oleh harga BBM murah dan disubsidi. Semua kalangan industri, Pemerintah dan masyarakat menjadi berpikir keras untuk melakukan efisiensi. Fenomena penghapusan ekonomi biaya tinggi, yang sering dibicarakan, akan benar-benar dilaksanakan, karena ’dipaksa oleh keadaan.’ Dalam jangka panjang ini akan memberikan dampak positif karena Pemerintah, kalangan pengusaha dan masyarakat terlatih untuk berpikir dan bertindak efisien.

Di sini lain kenaikan harga BBM juga tidak hanya memacu pengusaha dan masyarakat melakukan efisiensi, tetapi juga akan memaksa Pemerintah menjalankan fungsinya secara lebih baik. Kebijakan kompensasi BBM untuk rakyat miskin memang baik, tetapi ini seharusnya hanya bersifat sementara dan darurat. Pemerintah harus lebih serius memikirkan bagaimana supaya masyarakat bisa bekerja, memiliki kompetensi dan mendapat penghasilan yang layak. Jika kompensasi ini berlangsung lama dan tidak diarahkan untuk memotivasi orang untuk bekerja keras, maka akan timbul dampak negatif; kesenangan menjadi rakyat miskin karena enak disubsidi.

Kekayaan sumberdaya alam telah lama membius kita, jangan dilanjutkan dengan kebijakan subsidi yang tidak tepat.

Tuesday, September 06, 2005

Perda K3-2005 Kota Bandung : Akankah Efektif Dilaksanakan?

Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 mengenai Penyelenggaraan Ketertiban, Keindahan dan Kebersihan (K3) sudah resmi diundangkan pada tanggal 8 April 2005 dan akan efektif berlaku April tahun 2006. Perda ini akan menggantikan Perda Nomor 6 Tahun 1995 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi. Apabila dihitung sejak bulan September ini, maka masih tersisa 7 bulan yang dapat kita gunakan untuk bebenah, agar pada waktunya nanti semua berjalan dengan baik.

Pikiran Rakyat sudah pernah mempublikasikan ketentuan K3 ini pada bulan Maret, berarti sudah 5 bulan terlewati. Jika hingga sekarang masih ada masyarakat Kota Bandung yang belum mengetahui keberadaan Perda K3, tentunya sangat disayangkan. Artinya, sosialisasi masih belum maksimal. Padahal ini Perda yang istimewa dan sangat penting diketahui oleh semua masyarakat Bandung karena berhubungan erat dengan aktivitas kita sehari-hari.

Sekedar mengingatkan kembali, ada 67 butir kegiatan masyarakat Bandung yang diatur lengkap dengan sanksinya. Diantaranya adalah ketentuan untuk menyeberang jalan, naik/turun kendaraan umum, penggunaan jalan, membuang sampah, pemasangan portal/polisi tidur dan lain-lain. Sanksi per jenis pelanggaran berupa denda dan pidana kurungan. Denda administrasi bervariasi dari Rp 250 ribu hingga Rp 50 juta. Sedangkan sanksi pidana adalah kurungan paling lama 3 bulan. Sebagai contoh, setiap pengguna jasa angkutan umum yang naik/turun tidak pada tempat pemberhentian yang telah ditetapkan akan dikenai denda maksimal Rp 250 ribu, sedangkan mendirikan tempat untuk kegiatan perjudian dapat diganjar denda Rp 50 juta. Merokok pada ’tempat yang salah’, diancam sanksi hingga Rp 5 juta.

Yang menarik adalah tidak ditetapkan secara eksplisit sanksi minimum dari setiap pelanggaran. Apakah ini bisa diartikan bahwa pelangaran terhadap ketentuan larangan kegiatan perjudian bisa dikenakan denda Rp 50 juta sekaligus bisa juga tidak didenda sama sekali? Perda juga masih cukup banyak memberikan ruang untuk perbedaan penafsiran, sehingga mungkin diperlukan pedoman tertulis lebih rinci yang bisa dijadikan pegangan warga dan aparat penegak hukum.

Endi Sungkono (Pikiran Rakyat, 27 Maret 2005)
, pernah menulis dengan tuturan menarik hubungan kebiasaan merokok dengan Perda K3. Tulisan tersebut secara tidak langsung menunjukkan potensi masalah yang akan muncul. Ini baru dari satu aspek saja, yaitu merokok. Berapa banyak masalah akan mengemuka apabila ke-67 aspek yang diatur Perda diulas juga. Misalnya saja, bagaimana jika dibuat tulisan yang sama untuk kebiasaan kita berkendaraan umum atau membuang sampah?

Pada kesempatan lain, penulis sempat mendengar komentar salah seorang pengamat ahli di sebuah radio swasta beberapa waktu yang lalu. Pada intinya, pengamat tersebut menyoroti berbagai kelemahan Perda baik dalam hal proses pembuatannya, isi, sosialisasi hingga keefektifan implementasinya. Walaupun diyakini bahwa Pemda dan DPRD sudah melakukan analisis mendalam sehingga sampai pada keputusan untuk mengeluarkan Perda K3 yang baru, apa yang disampaikan pengamat tersebut perlu dipertimbangkan karena merupakan masukan berharga.
Dengan mempertimbangkan bahwa Perda K3 2005 akan mengatur aktivitas sehari-hari warga dan pengunjung Kota Bandung tanpa kecuali, penulis ingin menyampaikan [kembali] beberapa hal yang mudah-mudahan mendapat perhatian dari Pemda dan DPRD. Hal-hal tersebut adalah :

1. Mohon diyakinkan bahwa sudah semua warga Bandung mengetahui ketentuan-ketentuan dalam Perda tersebut sebelum efektif diterapkan. Kalau perlu maksimalkan semua alternatif aliran informasi yang ada. Mulai dari media massa (koran, televisi, radio), lembaga formal dan non formal, media promosi outdoor, leafleet dan lain-lain. Jika perlu bagikan secara gratis Perda kepada setiap KK di Kota Bandung. Ini untuk menjaga jangan sampai warga Kota Bandung kaget pada saatnya, sehingga tidak siap dan melakukan aksi-aksi yang negatif. Lebih cepat reaksi masyarakat diketahui, tentunya akan lebih baik.

2. Siapapun yang nantinya memiliki kewenangan menindak setiap pelanggaran (apakah Kepolisian ataupun aparat Pemda/Satpol PP) dilandasi oleh pendekatan pencegahan bukan pembiaran yang dilanjutkan pengenaan sanksi. Penulis berkeyakinan, Perda ini dibuat agar masyarakat Kota Bandung memenuhi aturan K3 bukan sebaliknya dan juga bukan sebagai salah satu wahana peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagaimana yang telah disampaikan Walikota, Bapak Dada Rosada.

3. Banyaknya butir pelanggaran dan besarnya sanksi sangat rawan menimbulkan penyalahgunaan baik oleh aparat maupun masyarakat. Oleh sebab itu, diupayakan agar penilaian kinerja aparat diukur dari makin berkurangnya pelanggaran yang terjadi bukan dari banyaknya pelanggaran yang ditemukan dan dikenakan sanksi. Dengan demikian antara tujuan yang melandasi Perda K3 nyambung sampai ke tingkat implementasi.

4. Karena di dalam Perda tersebut tidak diatur ketentuan mengenai pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat, mohon ketentuan mengenai ini juga di-Perda-kan serta disosialisasikan pada masyarakat.

5. Sangat diharapkan, semua fasilitas K3 disiapkan secara memadai sebelum Perda diterapkan. Misalnya, tempat penyebarangan jalan, tempat pemberhentian angkutan umum, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi warga dan pengunjung Kota Bandung untuk tidak mentaatinya.

6. Bagaimana semua kegiatan yang mendukung pelaksanaan K3 ini diakomodasi dalam APBD/DASK Pemda Kota Bandung? Berapa besar dan apakah dananya memadai? Bagaimana mekanisme pengelolaan dan pengawasan dana yang terkumpul dari pelanggaran K3? Walaupun akan diperlakukan sebagai Penerimaan Daerah, tentunya lebih baik jika dana tersebut dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk perbaikan fasilitas publik yang terkait dengan K3.

Sebagai perbandingan, penulis ingat betul bagaimana besarnya resistensi masyarakat pada peraturan penggunaan helm dan sabuk pengaman. Tetapi setelah ketentuan itu diterapkan, pada akhirnya masyarakat dapat menerima. Ada dua alasan utama yang menurut penulis menyebabkan keberhasilan ini. Pertama, masyarakat tidak punya pilihan lain selain mengikuti aturan tersebut dan aturannya diterapkan tanpa pandang bulu. Kedua, biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memenuhi ketentuan (yaitu, membeli helm atau memasang sabuk pengaman) relatif murah dan usaha yang perlu dilakukan (agar tidak melanggar) juga mudah.

Pengalaman keberhasilan kewajiban penggunaan helm dan sabuk pengaman, mudah-mudahan dapat dijadikan contoh untuk penerapan K3. Memang akan lebih sulit karena aspek yang diaturnya lebih banyak dan kompleks. Tetapi dengan kesungguhan, niat baik serta persiapan yang matang, penulis yakin implementasi Perda K3 akan berhasil dan mendapat dukungan dari masyarakat pencinta Kota Bandung.