Wednesday, August 23, 2006

The Theory of Perfect Circle: Theory about Love and Tolerance

Pada saat saya bertemu dengan teman di Jakarta baru-bari ini, setelah ngobrol ngalor-ngidul seperti biasanya, teman saya bercerita tentang Theory of Love dari seorang psikolog terkenal. Kemudian saya pun ungkapkan teori saya mengenai cinta, yaitu The Theory of Perfect Circle.

Tentu saya, sejatinya ini bukan teori. Karena sebuah teori memerlukan penelitian yang intensif, mengumpulkan berbagai fakta, mengaitkan berbagai konsep. Padahal ‘teori’ saya ini diinspirasi oleh sepotong tulisan di sebuah forum yang menceritakan secara jenaka apa itu pria dan wanita. Tapi ngga apa-apa lah, ini kan bukan diskusi akademik! :-)

Dalil pertama. Perfect Cicle berorientasi pada kesatuan (unity) bukan komposisi atau proporsi yang membentuknya.

Saya berpendapat hubungan cinta antara dua orang akan bertahan apabila mereka berkeinginan untuk membentuk perfect circle. Tetapi perfect circle tersebut bukan yang dibuat oleh orang lain, bukan yang dipersepsikan oleh salah satu, tetapi yang disepakati oleh mereka berdua.

Mari kita lihat tiga ilustrasi dibawah ini. Lingkaran pertama adalah lingkaran ideal yang diimpikan oleh banyak orang, tidak ada komentar yang bisa dialamatkan, kecuali pujian. Lingkaran kedua, adalah bagian si pria jauh lebih besar dari si wanita. Bentuk seperti adalah bentuk klasik yang terus digugat oleh para pejuang emansipasi. Bentuk ketiga adalah kebalikan dari bentuk kedua. Kasus terakhir sering jadi makanan empuk gunjingan sebagai ISTI, ikatan suami takut istri.



Dalam teori perfect circle yang saya kemukakan, semua bentuk tersebut bukanlah masalah. Sejauh keduanya, happy-happy saja, sejauh keduanya sepakat atas bentuk tersebut, sejauh keduanya saling menghargai perannya dalam lingkaran tersebut. Semuanya adalah perfect circle bagi saya!

Dalil kedua. Apabila salah satu bagian perfect circle berubah (membesar atau mengecil), maka keduanya harus berusaha membentuk kesatuan perfect circle yang baru.

Ini mirip dengan falsafah homeostatis (keseimbangan dinamis) dalam teori sistem.

Kita ambil contoh lingkaran kedua. Jika peran si wanita membesar, si pria harus menyadari dan menghargai itu. Agar perfect circle tetap bisa dipertahankan maka keduanya harus melakukan upaya-upaya ke arah itu. Ada banyak kemungkinan yang bisa dilakukan, saya akan paparkan dua diantaranya.

Pertama, si pria mengurangi proporsinya sehingga perfect circle lama dipertahankan dengan komposisi yang baru (lihat Gambar 4). Alternatif kedua, ukuran perfect circle diperbesar sehingga terbentuk perfect circle yang baru. Keseimbangan baru ini secara implisit menuntut si pria meningkatkan kapasitasnya. Yang ingin tetap saya tekankan disini adalah bahwa semua itu harus dicapai berdasarkan kesepakatan antara si pria dan si wanita. Tanpa tercapainya kesepakatan tersebut, perfect circle hanyalah sebuah ilusi!



Dalil ketiga. Perfect cicle adalah sebuah proses dan keinginan untuk membentuknya. Jangan tetapkan target waktu untuk mewujudkannya.

Sepintas Dalil Ketiga ini seolah-oleh bertentangan dengan dalil pertama dan kedua. Sebenarnya tidak, karena dalil ketiga adalah untuk tujuan agar kedua dalil tersebut down to earth (membumi), tidak membuat kita frustrasi dan menjadikan kita lebih berorientasi pada proses ketimbang hasil (more oriented on process than result).

Siapapun kita yang ingin mepertahankan kelanggengan cinta dan rumah tangga, membentuk perfect circle adalah sebuah proses dan usaha. Kita tidak bisa memaksakan itu akan terwujud secara permanen, apalagi dengan menetapkan target waktu. Pada satu saat kita akan merasakan perfect circle terbentuk, tetapi pada saat yang lain kita akan merasakan keseimbangan itu terganggu. Memang seperti itulah yang terjadi, sesuai dengan fitrah manusia, sesuai dengan falsafah homeostatis.

Yang tidak boleh kita surutkan adalah usaha dan proses kearah itu. Dengan pandangan seperti ini, kita memiliki keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik, setidak-tidaknya dari sudut pandang kita sendiri.

Sometime, somehow, somewhere your perfect circle will come. If you feel more satisfied about your love and life, you’re in the right track to your perfect circle. Hopefully!

Tulisan ini saya persembahkan untuk: Pertama, Istri saya, Insya Allah, kita akan terus berusaha mencapai perfect circle kita. Kedua, teman-teman saya, mudah-mudahan hubungan pertemanan kita, terus berjalan atas dasar saling menghargai dan toleransi; diantara kita bisa membentuk perfect circle. Ketiga, bangsa Indonesia yang saya cintai, saya akan terus berdoa dan menghimbau dengan sangat agar para pemimpin dan para tokoh yang berpengaruh bersedia dan terus bekerja keras untuk membawa kami menjadi anak bangsa yang saling menghormati dan saling bertoleransi atas setiap perbedaan individu dan golongan sesuai dengan falsalah Bhineka Tunggal Ika. Bagi saya Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah perfect circle, :-).

Monday, August 21, 2006

Palestina, Israel dan Lebanon – Part 2

Konflik militer Israel-Hizbullah (Hezbollah) memasuki babak baru, yaitu genjatan senjata atas prakarsa PBB setelah menewaskan lebih dari 1.000 orang Libanon dan ‘hanya’ sekitar 160 orang Isreal. Menurut berita, ini terjadi melalui Resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB setelah lobi-lobi intensif Perancis-Amerika Serikat dan didukung oleh desakan beberapa negara, termasuk Indonesia.

Apakah genjatan senjata ini berada di ‘jalur yang benar’ untuk sebuah perdamaian hakiki di Timur Tengah? Mungkin saja, mungkin juga tidak. Menurut pendapat spekulatif saya, Amerika Serikat akhirnya setuju melakukan genjatan senjata, berhubung ‘jurus’ sebelumnya melalui mesin perangnya, Israel, tidak berhasil melumpuhkan Hizbullah dan/atau menyeret Iran dan Suriah ke konflik militer secara frontal.

Ini terlihat dari indikasi cukup lamanya tenggang waktu antara dimulainya serangan Isreal ke Libanon (12 Juli 2006) hingga keluarnya Resolusi 1701 DK PBB (11 Agustus 2006). Seolah-olah Amerika Serikat memberikan kesempatan pada Isreal untuk melakukan usaha penglumpuhan Hizbullah dan pemancingan tersebut. Begitu ini tidak berhasil, mereka mulai menjalankan plan B, melalui genjatan senjata.

Ada beberapa indikator yang saya jadikan acuan. Pertama, perang urat syaraf antara AS dan Iran yang terus berlangsung hingga kini. Kedua, pernyataan kemenangan yang diklaim oleh Hizbullah yang dilanjutkan oleh pemberian ganti rugi yang cukup besar kepada penduduk Libanon yang harta bendanya dihancurkan Israel. Ketiga, serangan diam-diam yang dilakukan Isreal terhadap Hizbullah pasca genjatan senjata. Serta, keempat, rencana perlucutan senjata Hizbullah oleh Pemerintah Libanon.

Dugaan saya, pasca genjatan senjata ini, AS akan menggunakan pisau bermata dua. Pisau pertama adalah ‘melumpuhkan’ Hizbullah, Suriah dan Iran melalui skenario genjatan senjata yang akan menguntungkan mereka dan Israel. Kedua, secara samar akan tetap memberikan dukungan pada Israel untuk tetap melakukan teror militer terhadap Hizbullah dan Palestina dimana ada kesempatan (lihat indikasi serangan Israel pasca perdamaian).

Saya punya keyakinan Hizbullah, Palestina, Iran dan Suriah juga bisa ‘membaca’ gerakan politik AS ini. Dengan demikian mereka pun akan melakukan aksi penangkalan dan balasan, sesuai dengan kapasitas dan kepentingan mereka.

Dengan mengacu pada paparan di atas. Saya masih pesimis, perdamaian hakiki atas dasar saling menghormati dan fair akan terwujud dalam waktu dekat ini. Konstelasi politik global yang tidak seimbang, sebagaimana yang telah saya ungkapkan dalam artikel sebelumnya, menjadi kendala utamanya.

Untuk itu, gerakan politik beberapa negara untuk, diantaranya, merevolusi tatanan di PBB, merupakan langkah yang tepat. Jika konstelasi politik di PBB bisa lebih mencerminkan keadaan real sekarang (bukan pasca Perang Dunia II) serta keadilan hak dan wewenang negara-negara anggotanya, secara perlahan dunia yang damai dan adil akan lebih mudah diwujudkan.

Saya sadar bahwa ini bukan hal yang mudah, perlu kerjasama politik yang lebih kuat diantara negara-negara yang dirugikan oleh tatanan PBB sekarang ini. Dengan strength point yang dimiliki sebenarnya Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam menjalin kerjasama politik yang intensif dengan Jerman, India, Iran, Jepang, Afrika Selatan, Mesir, Brazil dan Argentina, untuk mempercepat keseimbangan konstelasi politik dunia terjadi. Mudah-mudahan!

Wednesday, August 09, 2006

Membangun Dignity Melalui Self-Empowering

Gagasan self-empowering muncul atas keprihatian saya mengenai kondisi ketenagakerjaan Indonesia serta cara pandang tenaga kerja kita (terutama pada mereka yang tergabung dengan serikat pekerja). Saya perhatikan mereka sangat tidak percaya diri, di bawah sadarnya merasa inferior serta kurang memiliki dignity.

Ini nampak jelas dari ucapan dan tindakan mereka bereaksi atas tekanan yang diberikan oleh pihak manajemen (pemilik) perusahaan, ketidakjelasan sikap Pemerintah serta tekanan persaingan ketenaga kerjaan secara global. Bagaimana bargaining position lebih mengandalkan physical power, bagaimana penekanan pada Pemerintah lebih mengarah pada perlindungan secara hukum melalui regulasi.

Tidak ada yang salah dari semua itu, tetapi sepatutnya regulasi serta physical dan quantity power tidak digunakan sebagai alat bargaining utama. Peningkatan kompetensi melalui self-empowering seharusnya menjadi main pressure tool. (Mengenai kompetensi/competency sudah cukup banyak dibahas, walaupun demikian saya akan usahakan membahas topik ini pada kesempatan lain.)

Hingga saat ini saya belum menemukan referensi yang membahas secara khusus mengenai seft-empowering, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Oleh karena itu, saya buat tulisan singkat mengenai Self-Empowering sebagai langkah awal. Secara bertahap tulisan ini akan saya buat sekomprehansif mungkin, mudahan saya diberi kekeluasaan waktu serta kemampuan menuliskannya di blog ini.

Self-Enpowering adalah sebuah proses yang berkelanjutan untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi yang inisiatif dan usaha utamanya (main effort) berasal dari diri sendiri.

Inisiatif berhubungan dengan keinginan, motivasi yang timbul atas kesadaran serta kebutuhan pribadi seseorang. Ini berlawanan dengan yang dimunculkan dari orang lain.

Usaha utama artinya, sebagian besar usaha, pengorbanan untuk mempertahankan dan meningkatan kompetensi ini dilakukan oleh diri sendiri dan tidak tergantung pada dukungan (termasuk finansial) orang lain. Kondisi ini tidak menafikan bantuan orang lain, jika memang ada, boleh dimanfaatkan secara maksimal. Yang terpenting, ada atau tidak ada bantuan tersebut, proses self-empowering harus tetap berjalan.

Untuk bisa melakukan self-empowering seseorang harus memiliki kemampuan melakukan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat/kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) terhadap diri sendiri, melakukan mapping (pemetaan) hasil analisis SW pribadi dan OT lingkungan (pekerjaan), membuat rencana bagaimana kompetensinya dipertahankan dan ditingkatkan, mengimplementasikan rencananya, selanjutnya melakukan evaluasi atas proses tersebut. Demikian seterusnya proses ini berlangsung terus-menerus selama usia produktif kita selaku manusia.

Dengan demikian self-empoweing adalah bagian dari lifetime learning (belajar seumur hidup). Menurut saya istilah lifetime learning lebih cocok digunakan di sini ketimbang lifetime education, karena lebih menekankan pada bagaimana itu bisa diwujudkan oleh inisiatif dan usaha pribadi bukan berasal hari kebijakan Pemerintah atau perusahaan. Kebijakan Pemerintah mendukung seft-empowering tenaga kerja Indonesia memang sangat penting, tetapi (jika itupun ada), semua akan sia-sia jika tenaga kerja Indonesia tidak memiliki positive attitude mengenai self-empowering.

Walaupun peningkatan kompetensi dan self-empowering adalah dua isu ketenagakerjaan yang berbeda, tetapi keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Peningkatan kompetensi bisa dilakukan tanpa self-empowering. Tetapi peningkatan kompetensi melalui self-empowering akan membuat tenaga kerja Indonesia memiliki dignity serta integritasnya akan dihargai oleh perusahaan. Pada gilirannya, kondisi konfrontatif yang tidak produktif lambat laun akan berubah menjadi partnership yang saling membutuhkan dan menghargai.

Partnership yang hakiki dan sukarela antara pekerja dan perusahaan adalah kondisi ideal yang saya impikan. Jika ini bisa diwujudkan, Insya Allah, sebagian masalah ketenagakerjaan di Indonesia teratasi tanpa menimbulkan masalah baru.

Thursday, August 03, 2006

Palestina, Israel dan Lebanon dalam Konstelasi Politik Global

Memanasnya situasi di Timur Tengah akhir-akhir ini telah menyita perhatian dunia. Eskalasi peperangan yang dipicu penyanderaan 2 tentara Israel oleh Hizbullah (Hezbollah) dan dipertegas dengan sikap arogan Israel melakukan serangan militer ke Libanon, benar-benar membuat saya sedih. Banyak korban rakyat sipil termasuk anak-anak berjatuhan di Libanon (Lebanon).

Reaksi dunia, termasuk Indonesia, mayoritas menyalahkan Israel. Hanya Amerika Serikat yang sangat telanjang membela Israel. Seruan genjatan senjata yang disampaikan PBB dan mayoritas Negara tidak digubris Israel dan AS. Mereka punya agenda sendiri bagaimana konflik ini harus diselesaikan.

Perselisihan antara Israel dan Palestina yang seringkali menyeret negara-negara tetangganya dalam ‘medan pertempuran’ adalah masalah yang punya sejarah panjang dan sangat sulit dilacak kembali siapa yang salah dan benar. Apalagi masing-masing pihak didasari oleh sebuah keyakinan yang kuat bahwa pihak lain yang bersalah.

Kepentingan golongan dan negara lain yang saling bertentangan juga telah membuat makin kisruhnya masalah ini. Saya merasa solusi yang bersifat adil sudah makin jauh dari kenyataan. Walaupun di permukaan nampak seolah-oleh ada itikad baik untuk membantu mereka menyelesaikan masalah secara damai, saya melihat sangat jelas bahwa secara umum konstelasi politik di dunia lebih menguntungkan Israel.

Sejak keruntuhan Uni Soviet, peran AS sebagai negara super power makin kuat sulit dikendalikan dan diimbangi oleh negara lain. Sadar akan situasi ini, beberapa negara maju di Eropa sepakat membentuk Uni Eropa yang entri-nya (agar lebih mudah dilakukan dan tidak bisa diprotes AS) adalah dimulai dari kerjasama ekonomi. Saya punya keyakinan dalam jangka panjang kerjasama lain di bidang politik dan keamanan akan makin nampak terlihat.

Tetapi di mata sebagian negara berkembang, termasuk Indonesia, pembentukan Uni Eropa hanyalah bentuk kamuflase kerjasama langsung dan tidak langsung dengan AS. Sejarah telah membuktikan bahwa hubungan Eropa Barat dan AS termasuk ‘mesra’. Mereka hanya akan ‘berantem’ kalau masalah yang timbul mengganggu eksistensi masing-masing. Jika terjadi di luar kancah mereka, biasanya mereka sangat bisa bekerja sama. Kalaupun yang satu ‘agak nakal’ yang satu lagi bisa memberi toleransi yang lumayan besar. Contoh paling konkrit adalah serangan militer AS ke Irak atau masalah boikot pengembangan nuklir Iran.

Disamping mereka sebenarnya ada beberapa Negara yang punya posisi penting di konstelasi politik dunia. Di antaranya, Cina, Rusia, Jepang, India dan Iran. Sebenarnya jika rakyat Indonesia bersatu, kita bisa menjadi salah satu pemeran kunci di kancah ini, sayang sekali nampaknya masih utopia karena kita masih harus berkutat dengan masalah internal yang seringkali ditangani dengan cara yang aneh.

Kekuatan lain yang bisa berperan adalah jika Afrika bisa bersatu dipimpin oleh beberapa negara yang cukup kuat seperti Afrika Selatan dan Mesir. Kemudian Amerika Latin, jika mereka bersatu dan tidak diganggu masalah internal juga bisa menjadi penyeimbang AS dan Uni Eropa.

Kembali ke masalah serangan Israel ke Libanon. Sebenarnya saya sangat enggan mengungkapkan pendapat ini karena harus melanggar kecintaan saya terhadap solusi damai. Tetapi melihat perkembangan yang terjadi serta konstelasi politik global, satu-satunya cara agar Israel dan AS bersedia ‘dipaksa’ ke meja perundingan dimana perundingan ini bisa berjalan dengan bargaining power yang seimbang adalah: Perkuat mesin perang Hizbullah, bukan sebaliknya seperti yang diusulkan oleh AS, melucuti mereka terlebih dahulu.

Uni Eropa, OKI, Rusia, Cina, Jepang dan India harus bersatu mengancam AS agar segera menekan Israel untuk menghentikan serangannya. Jika tidak grup ini akan membantu persenjataan Hizbullah agar kekuatannya seimbang dengan Israel. Saya yakin kalau kekuatan militer Hizbullah dan Israel seimbang, Isreal akan berpikir 9 kali lipat melakukan serangan militer ke Libanon.

Kecaman keras dan lobi-lobi G to G terhadap AS tidak akan berdampak positif jika tidak disokong oleh tekanan ‘kami akan memperkuat persenjataan Hizbullah jika suara kami tidak didengar’.

Cara ini tentu saja akan memancing kemarahan AS dan Israel. Tetapi jika itu terjadi saya malah senang, kemarahan mereka merupakan cerminan rasa takut. Dengan demikian konstelasi politik dunia mulai berubah kearah keseimbangan. AS tidak akan bisa semena-mena lagi. Memang ada beberapa masalah yang potensial menghambat skenario penekanan kepada AS ini bisa dilakukan.

Hubungan Uni Eropa dan OKI tidak seerat UNI Eropa dan AS. Secara sendiri-sendiri ketergantungan negara-negara OKI terhadap AS dan Uni Eropa cukup kuat, ini sangat mungkin melemahkan posisi OKI. Hubungan OKI dengan Rusia, Cina, Jepang dan India belum teruji untuk masalah-masalah politik dan keamanan. Dan yang paling penting adalah siapkan negara-negara dalam grup ini menghadapi resiko kemarahan AS dan Israel jika tekanan itu diwujudkan?

Bagi Indonesia sendiri menurut saya punya dua alternatif. Pertama, dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap rencana mengirim misi perdamaian PBB, saya berpendapat sebaiknya Indonesia memulai terlebih dahulu dengan mendukung langkah Iran dan Suriah untuk memperkuat ‘mesin perang’ Hizbullah. Dukungan ini tentu saja bukan dalam bentuk pengiriman peralatan perang atau personil secara langsung, karena tentu saja itu bisa dianggap konyol.

Banyak cara halus dan tersembunyi (Pemerintah lebih tahu masalah ini, :-) !) yang bisa dilakukan. Yang pasti kita pun harus waspada, karena ada dugaan bahwa hal ini 'dibiarkan' terjadi oleh AS agar Iran dan Suriah (dua negara yang sangat dibenci AS), terseret dan terlibat langsung (transparan) dalam konflik ini sehingga bisa 'di-Irak-kan' oleh mereka.

Kedua, diam. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Tidak ada gunanya membantu pihak-pihak yang merasa bahwa solusi militer dan kekerasan adalah satu-satunya cara yang bisa ditempuh. Tidak ada gunanya jadi juru damai dari pihak-pihak yang berkeyakinan eksistensi masing-masing hanya bisa diwujudkan dengan meremehkan dan mencoba menghancurkan eksistensi pihak lain.

Kedua sikap tersebut tentunya tidak umum. Tetapi saya lebih setuju mengambil sikap tersebut dari pada hanya melakukan kegiatan lip service lobi-lobi dan siap-siap mengirim pasukan perdamaian. Pilihan pertama, pasti akan menghasilkan kecaman dari banyak negara, terutama AS karena dianggap mendukung terorisme atau tidak mendukung perdamaian serta melanggar etika pergaulan Internasional. Tetapi menurut saya tidak ada gunanya perdamaian dan etika pergaulan Internasional diterapkan pada negara yang jelas-jelas menggunakan standar ganda dan sering melanggar etikel pergaulan antar negara. Hanya saja, saya pesimis Pemerintah Indonesia berani mengambil sikap seperti ini, melihat sejarah hanya Presiden Soekarno yang ‘berani’ melawan AS.

Pilihan kedua juga pasti menimbulkan reaksi keras baik dari dalam maupun luar negera, karena Indonesia akan dianggap sebagai negara yang tidak peka dan bersedia berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Tapi menurut saya ini lebih baik, daripada kita melakukan pekerjaan lip service tersebut. Alangkah lebih baiknya tenaga, pikiran dan dananya kita gunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Sangat banyak rakyat Indonesia yang perlu dibantu agar mereka bisa bangkit dan pada gilirannya Indonesia pun bisa bangkit.

Apapun pilihan tergantung pada Pemerintah yang memiliki kewenangan. Apa yang bisa saya lakukan adalah sebatas menyumbang pikiran seperti ini. Mudah-mudahan kedamaian dan kesediaan hidup berdampingan saling menghargai bisa segera terwujud di Timur Tengah.